Sunday, June 13, 2010

Watchman Nee, Vol 41-03

BAB SATU

 

DIMERDEKAKAN DARI DOSA DAN DARI HUKUM TAURAT

 

Tanggal: 29 Juli 1934

Tempat: Foochow

 

            Banyak orang memberikan perhatian yang besar terhadap dimerdekakan dari dosa, namun mereka sama sekali tidak mengerti arti dimerdekakan dari hukum (Taurat). Mengapa Paulus menyinggung  perkara dimerdekakan dari dosa, yaitu, mati terhadap dosa di dalam Roma 6 dan kemudian berbicara mengenai dimerdekakan dari hukum di dalam pasal tujuh? Mengapa kita harus dimerdekakan dari hukum setelah kita dimerdekakan dari dosa? Apa perbedaan dari dimerdekakan dari dosa dan dimerdekakan dari hukum? Apa hubungan dari dimerdekakan dari dosa dan dimerdekakan dari hukum? Apakah ada korelasi antara dimerdekakan dari hukum dan dimerdekakan dari dosa?

 

DIMERDEKAKAN SECARA SEJATI DARI DOSA HANYA

BISA DIREALISASIKAN MELALUI DIMERDEKAKAN

DARI HUKUM

 

            Roma 6:14 mengatakan bahwa dosa tidak akan berkuasa lagi atas kita karena kita tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah anugerah. Ini berarti kita pertama-tama dimerdekakan dari hukum dan kemudian dari dosa. Ketika kita tidak lagi berada di bawah hukum, dosa tidak akan berkuasa atas kita. Namun banyak orang beriman memutarbalikkan hal ini. Mereka hanya memberi perhatian kepada perkara dimerdekakan dari dosa dan melewatkan perkara dimerdekakan dari hukum. Dosa dan hukum itu saling berkaitan. Ini bisa dibandingkan dengan prinsip dari pengobatan Cina. Pengobatan Barat membereskan penyakit baik melalui obat secara internal maupun operasi secara eksternal. Namun dalam pengobatan Cina, tidak ada pengobatan secara eksternal, sebab pengobatan Cina hanya membereskan akar dari penyakit. Dia tidak secara tersendiri membereskan gejala luaran dari suatu penyakit. Dosa adalah gejala luaran dari suatu penyakit, sedangkan hukum adalah akar dari penyakit tersebut. Manusia berdosa sebab dia berada di bawah hukum. Hukum adalah penyebabnya, sedangkan dosa adalah akibatnya. Tidak ada gunanya bagi seseorang untuk hanya membereskan akibat luaran tanpa pertama-tama membereskan akar penyebabnya.

            Banyak orang telah terganggu oleh masalah dosa selama bertahun-tahun dan telah bergumul tanpa hasil. Mereka gagal sebab mereka hanya memperhatikan perkara dimerdekakan dari dosa tanpa pemahaman akan perlunya dimerdekakan dari hukum. Di dalam Roma 6, Paulus memberi tahu kita bagaimana kita bisa dimerdekakan dari dosa. Di dalam pasal tujuh, dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa dimerdekakan dari dosa saja tidaklah memadai; kita juga harus tahu cara untuk dimerdekakan dari hukum. Sebenarnya, Roma 6 itu sama dengan Roma 7, dan Roma 7 sama dengan Roma 6. Pasal tujuh itu diperlukan sebab ada sesuatu yang masih belum tuntas di dalam pasal enam. Roma 7:8 mengatakan bahwa “tanpa hukum Taurat dosa mati.” Sebenarnya, tanpa dimerdekakan dari hukum di dalam pasal tujuh, tidak mungkin dimerdekakan dari dosa di dalam pasal enam. Hanya setelah kita dimerdekakan dari hukum, barulah kita bisa benar-benar dimerdekakan dari dosa.

 

DEFINISI HUKUM

            Selanjutnya kita harus bertanya, “Apakah hukum? Apakah definisi hukum?” Banyak orang mengira bahwa dimerdekakan dari hukum adalah dibebaskan dari Sepuluh Perintah. Sebagian orang mungkin mengira bahwa dimerdekakan dari hukum adalah dibebaskan dari ketetapan-ketetapan seremonial Perjanjian Lama, seperti peraturan-peraturan yang mengendalikan pelayanan imamat. Mereka juga mungkin mengira bahwa dimerdekakan dari hukum adalah dibebaskan dari aturan moral. Sebenarnya, penghilangan hukum tidak bisa menahan seseorang untuk tidak berbuat dosa. Tuntutan Allah terhadap manusia di seluruh Perjanjian Lama disimpulkan di dalam hukum. Hukum adalah tuntutan Allah terhadap manusia. Memelihara hukum memiliki makna bahwa Allah memiliki suatu tuntutan dan bahwa kita berusaha untuk melaksanakan kehendak-Nya dan memuaskan Dia berdasarkan usaha kita sendiri. Inilah memelihara hukum.

            Di dalam Perjanjian Baru, Allah telah menyisihkan hukum dan menggantinya dengan kasih karunia. Allah tidak lagi meminta manusia untuk melakukan apa-apa untuk memuaskan Dia. Ini adalah suatu perkataan yang sangat bermakna. Memelihara hukum adalah melakukan sesuatu untuk memuaskan Allah, sedangkan dimerdekakan dari hukum adalah tidak lagi melakukan apa-apa untuk memuaskan Allah. Allah tidak memiliki maksud bagi kita untuk melakukan apa-apa oleh diri sendiri untuk memuaskan Dia. Jika kita tidak bisa berhasil di butir ini, kita tidak bisa berhasil pada perkara dosa.

 

PENILAIAN ALLAH TERHADAP MANUSIA

            Mari kita terlebih dahulu mempertimbangkan pemikiran Allah mengenai manusia. Masalah yang sebenarnya bukanlah apa yang dikatakan oleh lingkungan atau apa yang dikatakan oleh orang lain, melainkan apa yang dikatakan oleh Allah. Pemikiran Allah mengenai manusia adalah bahwa manusia tidak bisa memuaskan Dia hanya melalui melakukan sesuatu oleh dirinya sendiri. Di dalam dirinya sendiri, manusia itu penuh dengan dosa dan sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk memuaskan Allah. Di mata Allah, manusia hanya layak untuk mati. Manusia itu tidak memiliki harapan, dan tidak ada sesuatupun di dalam dirinya yang akan pernah bisa memuaskan Allah. Tidak ada sesuatupun yang berasal dari manusia bisa memuaskan Allah. Allah hanya memiliki satu penilaian terhadap manusia; Dia hanya memiliki satu pandangan mengenai manusia—mati. Itulah sebabnya mengapa Alkitab mengatakan bahwa kita mati dalam Kristus. Inilah penilaian Allah terhadap kita.

            Allah hanya memiliki satu penilaian mengenai diri kita—mati. Ada pernyataan orang pribumi Foochow yaitu Gai-si, yang berarti “layak mati.” Allah tidak memiliki maksud supaya kita memperbaiki diri kita sendiri, menjadi lebih baik, atau semakin maju setahap demi setahap. Kita ini benar-benar tidak memiliki kemampuan untuk melakukan semua hal itu. Akan tetapi, kita tidak mengenal fakta tersebut; kita mengira bahwa kita masih bisa melakukan banyak hal. Misalnya, setelah seseorang percaya dalam Tuhan, dia mungkin mengatakan kepada dirinya sendiri, “Saya bisa bangun setiap jam enam pagi untuk membaca Alkitab dan berdoa. Saya bisa bersabar, dan saya bisa mengasihi.” Allah tidak pernah mengatakan bahwa kita bisa berhasil melakukannya, dan Dia bahkan tidak memiliki pengharapan bahwa kita akan bisa berhasil melakukannya. Salib adalah penilaian yang ultima dari Allah terhadap diri kita. Sangat mudah untuk mengakui fakta ini ketika kita sedang mendengarkan suatu berita, namun di dalam praktek penghidupan sehari-hari kita, kita masih berusaha untuk memuaskan Allah. Disinilah letak dari akar permasalahan kita.

 

MAKNA BAPTISAN

            Mengapa kita perlu dibaptis? Baptisan adalah jawaban kita terhadap tuntutan Allah. Allah menuntut supaya kita mati, dan kita menjawab tuntutan ini melalui dibaptis. “Atau tidak tahukah kamu bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus Yesus, telah dibaptis dalam kematian-Nya?” (Rm. 6:3). Melalui salib Allah mengisyaratkan bahwa kita harus mati dan bahwa kita tidak layak untuk apa-apa selain mati. Kematian salib adalah tuntutan Allah atas diri kita; ini adalah penilaian Allah terhadap kita. Kita harus menjawab tuntutan ini melalui dibaptis. “Dengan demikian, kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia melalui baptisan dalam kematian” (ay. 4). Hanya orang mati yang bisa dikuburkan. Baptisan adalah semacam penguburan; dia menyatakan bahwa kita sudah mati dan bahwa kita hanya layak untuk dikubur di dalam kuburan. Satu Petrus 3:21 mengatakan bahwa baptisan adalah “memohonkan hati nurani yang baik kepada Allah.” Allah sudah mengumumkan kematian kita, dan Kristus mencakupkan kita di dalam kematian-Nya ketika Dia mati di atas salib. Ketika kita mengakui fakta ini, kita memberi diri kita untuk dibaptis. Jadi, baptisan adalah pengakuan kita kepada Allah bahwa kita layak untuk mati dan bahwa kita memang sudah mati di dalam kematian Kristus. Baptisan adalah jawaban kita di hadapan Allah demi hati nurani yang baik. Baptisan itu bukan suatu formalitas untuk bergabung dengan sebuah agama. Itu adalah suatu perhitungan, pengakuan, dan jawaban atas penilaian Allah terhadap kita.

 

AKHIR MANUSIA ADALAH PERMULAAN ALLAH

            Jika kita dengan jelas melihat hal ini, kita akan dimerdekakan dari hukum. Kita tahu bahwa kita hanya layak untuk mati dan bahwa kita tidak memenuhi syarat untuk memuaskan Allah dengan pekerjaan kita. Begitu kita berusaha untuk melakukan sesuatu untuk memuaskan Allah, kita seharusnya mempertimbangkan apa yang telah Tuhan lakukan di atas salib dan menyadari bahwa kita sudah dimerdekakan dari hukum. Kita sudah disalibkan bersama Kristus. Allah tidak lagi memiliki maksud supaya kita melakukan sesuatu. Kita sudah disalibkan. Inilah penilaian Allah, dan inilah pendirian yang harus kita ambil.

            Namun demikian, banyak dari kita berusaha untuk menggenapkan sesuatu melalui daging kita. Kita berusaha untuk melakukan sesuatu menurut kekuatan daging untuk memuaskan Allah. Namun ketika Allah mencelikkan mata kita, kita akan melihat bahwa tidak ada seorang pun selain diri Tuhan sendiri yang bisa memuaskan Allah. “Mereka yang hidup dalam daging, tidak mungkin berkenan kepada Allah” (Rm. 8:8). Jika kita bisa melaksanakan kehendak Allah, maka Allah pasti telah mempertahankan kita dan bukan menyalibkan kita. Perhatikan pengalaman kita. Kita sudah terlalu sering tersandung. Lalu mengapa kita masih berjalan menurut diri kita sendiri? Allah sudah tidak memiliki tuntutan atas diri kita lagi, namun kita masih menuntut diri kita sendiri! Inilah pengalaman manusia di dalam Roma 7. Dia berusaha untuk berkehendak oleh dirinya sendiri. Manusia di dalam Roma 7 berulang kali berusaha untuk berkehendak oleh dirinya sendiri. Kata “aku” diulang berkali-kali di dalam pasal ini; itu memperlihatkan kepada kita akar dari masalahnya. Jika seseorang terus menerus berkehendak di dalam dirinya sendiri, itu menunjukkan bahwa dia belum dimerdekakan dari hukum. Setiap kali dia gagal, dia akan berkehendak lagi. Siklus ini akan terus berlanjut sampai pada suatu hari dimana dia sepenuhnya kehilangan harapan pada dirinya sendiri. Kemudian dia akan berseru seperti yang dilakukan oleh Paulus, “Aku, manusia celaka!” (7:24). Pada saat itulah baru dia akan mengalami kemerdekaan.

            Sia-sia bagi kita untuk berharap bahwa kita bisa dimerdekakan dari dosa ketika kita belum dimerdekakan dari hukum. Kita hanya bisa dimerdekakan dari dosa ketika kita berdiri di atas dasar kebangkitan. Jika kita belum dimerdekakan dari hukum, kita belum mati. Akibatnya, kita tidak bisa berdiri di atas dasar kebangkitan. Roma 7:4 mengatakan, “Sebab itu, Saudara-saudaraku, kamu juga telah mati terhadap hukum Taurat melalui tubuh Kristus, supaya kamu menjadi milik orang lain, yaitu milik Dia, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, agar kita berbuah bagi Allah.” Kapankala kita melepaskan pengharapan kita atas manusia lama kita, kita menerima fakta yang telah digenapkan Tuhan di dalam Roma 6:6. Namun seringkali kita menjungkir-balikkan fakta salib yang telah digenapkan tersebut. Salib memperlihatkan kepada kita bahwa manusia lama kita sudah mati, namun kita masih berjalan menurut manusia lama. Ini adalah menyangkal pekerjaan Tuhan di atas salib.

            Kita bukan sedang membereskan dosa di sini; kita di sini adalah untuk membereskan hukum. Ketika kita mati terhadap hukum, kita juga mati terhadap dosa. “Sebab tanpa hukum Taurat dosa mati” (7:8). Begitu kita bebas dari hukum, kita bebas dari dosa. Namun kita seringkali membawa kembali perkara-perkara yang sudah dimatikan oleh salib. Banyak orang beriman berkata, “Saya tidak percaya bahwa saya masih bisa melakukan dosa yang sedemikian!” Saya akan menjawab, ”Benarkah? Sadarkah Anda bahwa Anda bisa melakukan dosa yang lebih besar dari itu?” Selama seseorang berada di dalam daging, dia bisa melakukan dosa apapun juga. Tidak seorang pun bisa menggenapkan kehendak Allah di dalam dagingnya. Kecuali kita berdiri di atas dasar kematian dan kebangkitan, kita tidak akan pernah bisa bebas dari dosa dan tidak akan pernah bisa menggenapkan kehendak Allah. Hanya mereka yang sudah mati terhadap hukum melalui tubuh Kristus bisa “menjadi milik orang lain, yaitu milik Dia, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, agar kita berbuah bagi Allah” (Rm. 7:4).

            Suatu kali saya berbincang-bincang dengan seseorang yang berusia di atas tujuh puluh tahun mengenai perkara dimerdekakan dari hukum. Dia menyatakan bahwa itu adalah fakta yang paling mulia di seluruh dunia. Saya menanyakan kapan dia dimerdekakan dari hukum., dan dia menjawab, “Lima puluh tahun yang lalu.” Kemudian dia melanjutkan, “Sangat baik mendengarkan Anda berkotbah mengenai dimerdekakan dari hukum dan dari dosa hari ini. Pada hari saya melihat bahwa saya sudah dimerdekakan dari hukum, saya berada di surga. Saya telah bergumul untuk memuaskan Allah selama bertahun-tahun setelah saya beroleh selamat. Namun semakin saya berusaha, semakin saya gagal. Saya mengira bahwa Allah memiliki tuntutan yang paling besar di seluruh alam semesta, dan saya menemukan bahwa saya tidak bisa memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut, bahkan yang paling kecil sekalipun. Pada suatu hari, ketika saya sedang membaca Roma 7, terang mendadak menyingsing. Saya melihat bahwa Tuhan tidak hanya memerdekakan saya dari dosa namun juga sudah memerdekakan saya dari hukum. Saya melompat karena kagum dan berkata, ‘Tuhan, apakah benar bahwa Engkau tidak lagi memiliki tuntutan apa pun terhadap diriku? Kalau demikian, aku tidak perlu melakukan apa-apa lagi bagi dirimu!”

 

KEMAUAN DI DALAM FILIPI 2:13

 

            Filipi 2:13 mengatakan bahwa “Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” Kemauan di dalam ayat ini berbeda dengan kemauan di dalam Roma 7. Ini bukanlah kemauan yang dipergumulkan untuk didapatkan oleh seseorang sambil menggertak gigi. Ini adalah hasil dari operasi kekuatan Allah di dalam kita. Kemauan dan pekerjaan semacam itu adalah bersifat spontan.

            Dr F.B. Meyer pernah mengatakan bahwa ketika Allah memiliki tuntutan, itu tidak ada hubungannya dengan apakah kita mau atau tidak; yang perlu kita lakukan adalah meminta Allah untuk membuat kita mau. Pernah dia berdoa kepada Tuhan, “Allah, aku tidak mau, tapi bekerjalah di dalamku sampai aku mau.” Beberapa hari setelah dia berdoa, dia menjadi mau. Pada dinding di rumahnya terdapat tulisan, “Tuhan, aku mau untuk dijadikan mau.”

            Seorang saudari di Shanghai selalu memperlakukan orang-orang yang ada di rumahnya dengan buruk. Dia berdoa supaya Allah mau membuat dia mengasihi orang lain. Kasih Tuhan menjamahnya, dan Dia beroperasi di dalam dirinya untuk membuatnya menjadi mau untuk mengasihi orang lain. Hasilnya, dia mulai mengasihi orang lain dari hatinya. Ini bukan kasih yang bisa dikerahkan oleh seseorang dengan kekuatan tekadnya; ini adalah hasil dari operasi Tuhan di dalam seseorang, yang terekspresi dalam kasih yang spontan terhadap orang lain.

            Kaum beriman tidak boleh hanya mau di dalam perbuatan mereka, namun juga harus mau di dalam jiwa mereka. Supaya kita bisa mau di dalam perbuatan kita, kita harus pertama-tama mau di dalam jiwa kita. Karena itu, kita harus meminta Allah untuk membuat hati kita mau untuk melaksanakan kehendak-Nya. Mazmur 119:36 mengatakan, “Condongkanlah hatiku kepada peringatan-peringatan-Mu.” Kisah Para Rasul 16:14 mengatakan bahwa Tuhan membuka hati Lidia, penjual kain ungu, sehingga dia memperhatikan hal-hal yang dikatakan Paulus. Ini bukan tindakan yang pasif; kita masih bertanggung jawab atas perbuatan kita. Akan tetapi, pada waktu yang sama, Roh Kudus harus membawa mentalitas seseorang ke suatu titik dimana dia setuju untuk menyerah. Jadi, kemauan dan pekerjaan kita bukan menurut diri kita sendiri, melainkan menurut operasi-Nya. Semoga Tuhan beroperasi di dalam diri kita untuk membuat kita mau dan bekerja bagi penggenapan kehendak-Nya.

***

Kutipan dari Alkitab Watchman Nee:

Inisiasi pekerjaan—kehendak Allah.

Pelaksanaan pekerjaan—kuat kuasa Allah.

Hasil dari pekerjaan—kemuliaan Allah.

 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment